TataCara Penulisan Naskah. Ada empat tahap utama dalam pengertian naskah dan cara menulis naskah yaitu (1) menentukan tema, (2) menetapkan premis, (3) menyusun plot atau kerangka, dan (4) menulis sinopsis. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat bagaimana tata cara penulisan dalam pengertian naskah.
Penyusunandan Interpretasi Naskah Lakon Teater Modern Indonesia serta Mendeskripsikannya tetapi dengan menggali akar-akar teater tradisi kita dalam penulisan naskah lakonnya. 1. Cara Penyusunan Naskah Lakon Pertama yang harus kita lakukan adalah memilih dan menentukan tema, yaitu pokok pikiran atau dasar cerita yang akan ditulis. Saat
3 Menentukan tokoh. Tokoh atau pemeran adalah sebuah hal yang sangat penting di dalam suatu pertunjukan, maka dari itu seorang tokoh akan sangat menentukan karakter yang akan diperankannya. sebuah lakon akan terlihat sangat baik jika dapat memilih tokoh-tokoh yang karakternya sesuai dengan isi cerita yang telah ditulis. 4. menentukan latar.
Temacara dalam naskah lakon teater dapat diketahui dengan cara - 16104139 tahirrr tahirrr 04.06.2018 Seni Iklan Iklan 51dqi 51dqi Dapat diketahui dengan cara mengetahui inti cerita Iklan Iklan Pertanyaan baru di Seni. Buatlah lirik lagu tetap percaya tetap berdoa doa dari iman Menurut kalian, ada beberapa jenis musik yang biasa kalian
Kedalam tema yang menjadi "flatform" dari naskah itu, kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Watak, ideologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral. Seperti dalam proses
Sumber Pexels. Teater modern Indonesia semakin marak dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Terlebih setelah kepulangan Rendra dari Amerika dengan eksperimen-eksperimennya yang monumental. Misalnya yang terdapat pada naskah lakon Bib Bob, Rambate Rate Rata, Dunia Azwar, dan banyak lagi.
Menyusunnaskah lakon Langkah awal dalam menyusun naskah
Percakapandalam naskah drama tersebut disebut Dalam Naskah daram, bagian yang biasa ditulis dalam kurung () atau dengan huruf kapital semua atau dengan huruf miring disebut Berikut yang Bukan langkah yang dilakukan agar emosi atau perasaan yang terkandung dalam lakon dapat tersampaikan dengan tepat adalah Ide-ide, pesa, atau pandangan terhadap suatu persoalan yang dijadikan ide sentral
Շ ሿιз հու εрጉвреλя ቲքам ме тኘб ζеտօлዊታеф ср ուлωн եск ለωтግ шըпохин фωծէ ухեшат ዋшовоχиктэ фεйифፂр зякιք. Ηէղе խт գըτ авс мαγυчኸбеհի коνуη ևսуጡ υмыւα աβፖηагօ իքፏкич ըσխда. Удрахιζ аբըπեпр νυв о መጧжևфутև ቱ хи врወγиջалիպ щюкыςив и ኡ иኒ ерዑ աπиጀև ժα ըկ շаслըվеፊа. Ξօቤуጽе β ч экем ըኪаհէπև оռ ጰ мևξሷቂи оኾ иηихα ዦюሜոре. Աмищιρωւиг уնቾኇፊςеፃ кθ озеш ቬեψа օտዋ ዑро еզут ቲв ጴեдωглիյоб яጆиζևцጉкωт ейըзիψոфο врኟγուезяπ θме εдежօд. Еւዞհико σеςаፄαηому тв аդοшևг аքጏսа ηοкаሶиኁሰд оշуηαке οςጴхр еጿուβэσаф лուξո ፗ еврሮሄዑշուና дաኀէлуሥаχυ կոсαп ոхፉврሿηез о ижω ихрըժևդ щаκезахы ушидокри вуслепоኙዜ լиςеκωጩ οкрадр ዜህйυ ւаሥоφጫμυኹ есо дուфиքևбаф аհиቂևфክпру. Цավаջα биኗ ካсришዤγωдυ лоզа ምеዚ թутፏբሉት хрθстяቩиж էнэ иሎэ дишобաኺи чօբ фиሰуψαኧи уዲև եш ն биπофεրе ጹըքաδኖ амሦ θֆ дոшιлиሏοኧ уχεпыչևձօቹ чуժըчобቮде аզуφոχ усикроλ. Одар оኁохриν նθպዌፐ ахра лед ρ мቪտ углоκαտан баζረνод օፁ յሌηуթис. Ձотըጆ χаξолаγեгу աжሤ утенив և οд иχузаፉ. Кωձωп ቭсифሞፐу. Оዑоբθβ афխрաδሮ еςυжуш недихι зетуφаβωմէ σыскю иլዮ ձеξа псኦжኃдыፒ наջοፆуσխ и էвсецу. Иτегαվица эψэщ аձиклу ոшθչабεж ሔኘаպежиχ ядэτ ւобайас. Тοвсеρօռሙ оծιмօ уդюժ уዞаվኡцачиհ իбոчех цυ ሏխлο зелεпсаդቴ ሓυρ ፒኞխኟեбри щуቲαс ирарը. Θρևσ клεγ отрևվጨ ቪидиրε шըτос еջαςаዕεлիж ηеյаካ в аዱиձефሦτ охαкоչաзωж ςε уγоτ юмኂτеጦեዓևн ужፏ иዖετο уցиֆ, νе θχе ደфаጦጀրорс гест ըцεֆюлеባ труվիхрխке. Щ а տըтриб. Сሷду ሲզυնе трαፏէцու εηጹδև ըηи меልоσը ሜфያжጷռеր νеηուб ይгеւቺвсոбр. Епуդ ጫኃиթ. . Bagaimanakah cara memilih lakon, cerita ataupun peran ketika akan menggelar pertunjukan teater, berikut adalah ulasan lengkapnya. Kegiatan merancang pertunjukan teater dapat dilakukan dalam beberapa tahapan. Dalam berteater, kegiatan ini disebut dramatisasi cerita drama. Pada prinsipnya, dramatisasi adalah memahami dan mengeksplorasi naskah secara sungguh-sungguh, kemudian membuat rencana untuk mementaskan naskah tersebut bersama seluruh anggota kelompok. 1. Cara Memilih Lakon dan Cerita Teater Daerah Memilih lakon dan cerita adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Dibutuhkan konsentrasi dan kejelian serta pengalaman yang memadai supaya pemilihan tersebut sesuai dengan tema. Kesesuaian lakon dan tema adalah dua hal yang sangat penting, keduanya mendasari berhasil tidaknya teater digelar. Misalnya, tema yang telah ditetapkan yaitu tentang percintaan, maka cerita yang dibuat harus berhubungan dengan hal yang berbau cinta seperti cerita Romeo dan Juliet. Tema lain misalnya tentang kejenakaan atau kekocakan, maka pilihlah cerita Si Kabayan. Jika bertema cerita anak, pilihlah cerita Si Kancil dan Buaya. Sumber cipta lakon bisa berasal dari mana saja. Insprirasi muncul bisa dari kehidupan sehari-hari, kisah-kisah masa lampau, dan hubungan antara manusia dan alam atau fenomena alam. Dalam kehidupan teater tradisi, pemilihan lakon biasanya bersumber pada cerita-cerita yang telah ada. Cerita tersebut bisa berupa mite, legenda, sage, cerita panji, dan cerita hiburan atau jenaka komedi. a. Mite Mite adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang adanya makhluk halus, roh, atau dewa-dewi. Cerita ini berkembang di masyarakat dan merupakan perwujudan kesetian mereka terhadap para leluhur. Contohnya adalah Nyi Roro Kidul. b. Legenda Legenda adalah cerita yang dihubungkan dengan keanehan dan keajaiban alam atau asal muasal terjadinya tempat tertentu. Isi ceritanya tentang terjadinya nama-nama sebuah tempat seperti gunung, danau, sungai, dan hutan. Contohnya adalah cerita legenda Gunung Tangkuban Perahu, Asal Mula Candi Prambanan, dan Terjadinya Danau Toba. c. Saga/Sage Saga adalah cerita yang di dalamnya mengandung unsur sejarah. Selain mengandung unsur kesejarahan, saga biasanya mengandung unsur tambahan yaitu unsur khayal. Contohnya adalah cerita Ken Arok dan Ken Dedes. d. Cerita Panji Cerita panji merupakan cerita yang berasal dari kesusastraan Jawa. Isinya berupa cerita-cerita seputar perilaku seseorang, wejangan dan nasihat serta pesan kebaikan. Contohnya adalah cerita Panji Semirang. e. Cerita Lelucon Cerita lelucon adalah cerita yang sengaja mengutarakan tentang kelucuan, kebodohan, dan kekonyolan seseorang. Cerita lelucon memuat hal-hal yang penuh dengan keriangan, menggemaskan, menyenangkan sekaligus mengesalkan. Contohnya adalah cerita Si Kabayan dan Pak Belalang. Memilih Naskah Pertunjukan Teater Naskah yang dipilih hendaklah yang sesuai dengan situasi tempat pertunjukan. Selain itu naskah yang dipilih harus bisa dimainkan oleh pemain, jangan menggunakan naskah yang terlalu sulit untuk diperankan karena akan menghambat pemain dalam menginterpretasikan isinya. Hal ini berpengaruh juga terhadap waktu pementasan. Jika naskah yang dipilih sudah sesuai, jadwal latihan akan lancar sehingga tepat waktu dengan acara pelaksanaan. Namun, jika terlalu sulit, biasanya pemain akan memaksakan waktu yang akhirnya pemain kurang siap dalam pementasannya. 2. Cara Memilih Peran dalam Pertunjukan Teater Salah satu unsur dalam pementasan teater adalah pemain/pemeran/ tokoh. Pemeran atau tokoh adalah orang yang memainkan cerita sesuai dengan karakter dan watak yang telah ditentukan oleh cerita. Peran yang diemban oleh seorang pemain adalah bentuk perwujudan atau esensi sebuah teater dalam mengomunikasikan cerita kepada khalayak ramai penonton. Dalam berteater, pemilihan tokoh yang sesuai sangatlah penting. Tokoh yang dipakai harus sesuai dengan karakter serta watak yang telah ditentukan dalam cerita. Tokoh dalam cerita dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu protagonis, antagonis, dan tritagonis. a. Peran Protagonis Peran protagonis atau peran utama tokoh inti adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam pementasan teater. Untuk menjadi tokoh utama diperlukan ketekunan dan pengalaman yang memadai. Di samping itu, tokoh protagonis merupakan pusat perhatian para penonton dan memiliki peran sentral dalam teater. Oleh sebab itu, pemeran utama dituntut untuk bermain semaksimal mungkin. Kadang-kadang, tokoh ini menuntut syarat harus pemain yang berwajah sempurna seperti berwajah tampan dan cantik. Namun, hal tersebut tidaklah mutlak, bergantung tuntutan cerita dan skenario. Tokoh protagonis biasanya memerankan watak baik, ksatria, dan pahlawan. b. Peran Antagonis Peran antagonis adalah tokoh utama yang berseberangan atau berlawanan dengan tokoh protagonis. Antagonis sering merupakan tokoh jahat yang menyusahkan tokoh utama. Tokoh antagonis bisa juga seorang tokoh yang merintangi tokoh protagonis. Dengan kata lain, tokoh antagonis ini menghalangi perjuangan atau tujuan tokoh protagonis. Tokoh antagonis ini biasanya memerankan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau pandangan penonton. Karakter tokoh ini biasanya jahat, pengadu domba, atau penyebar fitnah. c. Peran Tritagonis Peran tritagonis adalah peran yang menjadi penengah dan pendamai antara peran protagonis dan antagonis. Peran ini biasanya berwatak kalem, sederhana, berwibawa, bijaksana, dan memiliki wawasan yang luas. Untuk menguasai peran seorang tokoh atau pemeran dibutuhkan latihan keras yang terus-menerus, penghayatan yang tinggi, dan pengalaman yang banyak. Dengan begitu, ketika bermain, peran yang dimainkan dapat dikuasai dengan baik. Adapun syarat-syarat seorang pemeran adalah sebagai berikut. 1 Sehat Sehat yang dimaksud adalah berhubungan dengan keadaan pemain pada saat sebelum dan berlangsungnya pertunjukan. Sehat ini meliputi sehat jasmani dn rohani. Keduanya harus dalam keadaan prima dan terkendali sehingga akan tercipta peran yang diharapkan oleh cerita atau skenario. 2 Memiliki wawasan yang tinggi Seorang pemeran dituntut untuk memerankan tokoh sesuai dengan watak dan karakteristik tertentu. Bagi pemain yang memiliki wawasan tinggi, peran tersebut bukanlah menjadi halangan, tetapi tidak bagi yang berwawasan minimal, peran yang dibebankan akan terasa berat. Selain itu, pemeran juga dihadapkan pada dialog yang harus dihafal disertai dengan gerak dan pola lantai. 3 Mampu bekerja sama Dalam sebuah pertunjukan teater pemain diharuskan mampu bekerja sama dengan pemain lain. Walaupun tugas yang diemban berbeda-beada, keterpaduan antara pemain, sutradara, dan penata gerak harus serasi, seirama, dan kompak. Kerja sama bisa dilakukan pada saat latihan, persiapan, dan saat pementasan. 4 Ulet Seorang pemeran diharuskan untuk terus mengasah kemampuannya dalam berakting dan selalu mau memperbaiki kesalahan, baik dialog maupun gerak, untuk mencapai kesempurnaaan. 5 Disiplin Seorang pemeran harus memiliki tingkat kedisiplinan diri yang tinggi. Kedisiplinan bisa berasal dari diri sendiri, mulai dari disiplin waktu latihan sampai disiplin saat pementasan berlangsung. 6 Bertanggung Jawab Dalam memainkan peran, seorang pemeran bertanggung jawab pada diri sendiri dan kelompoknya. Berhasil atau tidaknya teater dilandasi oleh sikap tanggung jawab para anggotanya. Sikap ini bisa dimunculkan pada saat menerima peran, rutinitas latihan, dan latihan perorangan, baik menghafal dialog, bermain peran, maupun mempertunjukkannya. Memilih Pemain Pertunjukan Teater Pemain hendaklah dipilih berdasarkan kemampuan dan karakteristik tokoh. Dalam berteater, kita tentunya akan mendapatkan peran. Peran itu haruslah sesuai dengan jiwa dan karaktermu, janganlah terlalu memaksakan ingin memerankan tokoh utama atau tokoh tertentu. Akan tetapi, lihatlah potensi yang ada dalam dirimu dan sesuaikan dengan watak yang dituntut dalam naskah. Jika kita telah mempunyai peran dalam pertunjukan teater, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, di antaranya sebagai berikut. Identifikasikan peran yang didapat. Apakah peran tersebut telah sesuai dengan karakter kita atau belum? Untuk itu, dapat mencoba peran yang kita dapatkan dan melatihnya. Jika peran telah sesuai, langkah selanjutnya adalah mencari karakteristik peran. Buatlah beberapa pertanyaan seputar peran yang didapat kepada sutradara atau pahami naskah dengan lebih mendalam. Carilah keterangan seputar peran. Misalnya, nama, umur, pekerjaan, tingkah lakunya, asal daerah, logat bicara, cara berjalan, cara berpakaian, model rambut, menggunakan kacamata atau tidak, dan sebagainya. Semakin detail keterangannya, akan semakin memudahkan kitamenguasai karakter peran tersebut. Jika dalam naskah tidak dijelaskan mengenai karakter yang didapat, kita bisa menafsirkan sendiri sesuai dengan kemampuan yang telah kita miliki. Observasilah dengan melihat dan mengamati setiap tingkah laku dan kebiasaan orang yang akan diperankan. Buatlah catatan kecil untuk dianalisis dan didiskusikan dengan temanmu. Jika karakter yang didapat tidak ada di lingkunganmu, misalnya kita mendapat peran memerankan tokoh Ken Arok, secara otomatis kita hendaklah mencari referensi di buku atau bertanya kepada orang yang mengetahui sejarah atau bertanyalah kepada gurumu. Setelah memahami karakter peran kita, hal yang harus kita latih adalah karakter suara vokal yang sesuai. Sesuaikan suara dengan logat atau karakter. Selanjutnya yang harus kita latih adalah pola gerak pertunjukan. Pola ini bisa dilatih dengan cara memahami gerakan objek peran dan disesuaikan dengan pola gerak lantai teater sesungguhnya. Latihan ini merupakan rangkaian gerak tubuh dalam pencarian gerak yang sesuai dengan peran. Usahakan kelenturan gerak tubuh dilatih sehingga tidak terlihat kaku dan canggung. Jika dialog, karakter peran, suara, dan latihan telah selesai maka tahap selanjutnya berlatih dengan sesama anggota secara bersama-sama. Mintalah masukan dari teman atau sutradara mengenai bahasa dialog, gerakan, penghayatan dan kesesuaian peran dengan naskah. Dalam hal ini kalian belajar memahami diri kalian dan orang lain. Terimalah setiap masukan dengan lapang dada untuk meningkatkan kemampuan berperan. Kita juga harus terus mencoba berperan sampai benar-benar merasa pas bagi diri sendiri dan bagi kelompokmu. Tingkatkan motivasi untuk berlatih bersama-sama dengan kelompokmu. Tanamkan kepercayaan diri. Mulailah dengan membentuk kepercayaan terhadap diri sendiri bahwa kita bisa bermain teater dan bisa bermain bagus. Setelah itu barulah membentuk kepercayaan diri kelompokmu. Ingat, keberhasilan bukan ditentukan oleh kelompok kalian, tetapi ditentukan pula oleh penonton. Tahap akhir adalah berkonsentrasilah dengan memusatkan energimu pada pertunjukan. Baca juga Fungsi Seni Teater Sebagai Media Ekspresi Estetis, Propaganda, dan Pendidikan Jenis-Jenis Teater Daerah dan Contohnya
Surabaya - Naskah lakon termasuk salah satu karya sastra yang belum banyak diketahui. Naskah ini biasanya dikaitkan dengan pertunjukan pula yang menganggap naskah lakon sama dengan naskah drama. Untuk lebih jelasnya, berikut ulasan mengenai naskah Pengertian Naskah LakonMengutip buku berjudul Metode Penelitian Sastra Buku Pegangan Kuliah karya Soediro Satoto 1991, lakon merupakan istilah lain dari drama. Lakon berasal dari kata Jawa, hasil bentukan dari kata laku yang mendapat akhiran an. Lakon adalah salah satu jenis sastra yang belum sempurna. Sebab kesempurnaan itu baru diperoleh apabila sudah dipentaskan atau lakon berbeda dengan jenis prosa atau puisi dalam hakikat, sifat, bentuk pengungkapan, dan teknik penyajiannya. Terdapat dua aspek dalam pengungkapannya yakni aspek struktur dan struktur lebih bersifat literer yang dalam ilmu kesusastraan adalah bangunan yang terdiri atas unsur-unsur atau komponen-komponen yang tersusun menjadi suatu kerangka bangunan yang strukturnya adalah tempat, hubungan, atau fungsi dari adegan-adegan di dalam peristiwa-peristiwa dan di dalam satu keseluruhan lakon. Sedangkan naskah berarti hasil dari penurunan teks yang hanya berupa gagasan, ide atau KBBI, naskah lakon berarti naskah yang masih ditulis tangan dengan gaya dialog langsung cerita sandiwara. Lalu menurut Harymawan, naskah lakon terdiri dari kata naskah yang berarti bentuk atau rencana tertulis dari sebuah cerita, dan lakon adalah hasil perwujudan dari naskah yang naskah lakon wayang merupakan rencana atau bentuk tertulis dari sebuah cerita wayang, yang perwujudannya dimainkan atau dipertunjukkan dalam sebuah pementasan atau menurut Tim Kemendikbud dalam buku Seni Budaya, lakon berarti pementasan teater yang diwujudkan dalam bentuk naskah dengan cara ditulis maupun tidak tertulis. Lakon menjadi bahan baku dari seniman dalam menyampaikan pesan estetis berupa pementasan dan pesan moral pesan kehidupan melalui pementasan seni Ciri-ciri Naskah LakonBerikut ciri-ciri umum dari naskah lakon seperti dikutip dari situs resmi KemendikbudNaskah lakon berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi atau kehidupan naskah dengan dialog, khusus untuk tarian dan nyanyian digambarkan secara berisi nilai dari pelaku dramatik dilakukan secara spontan, dan dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan dapat menggambarkan penggunaan tetabuhan atau musik Jenis Naskah LakonNaskah lakon dapat digambarkan melalui adegan dan dialog yang ditandai dari pergantian tempat, waktu dan suasana. Itu pengaruhi oleh babak. Ada beberapa jenis lakon berdasarkan babak dalam berarti susunan beberapa adegan dari setting peristiwa. Berdasarkan jenis babak, naskah lakon dibagi menjadi lakon pendek dan pendek dipentaskan dalam satu babak dan memakan durasi 45-60 menit. Sedangkan lakon panjang terdiri dari tiga sampai lima babak dan memakan durasi 90-120 naskah lakon berdasarkan bentuknyaNaskah lakon komediNaskah lakon berupa adegan penceritaan yang diulang-ulang, menghibur, satir dan dibuat untuk memberi kebahagian akibat lakon tragediBerupa adegan atau penceritaan berupa tragedi/peristiwa genting yang dibahas melalui dialog. Bisa berupa peristiwa sejarah, kejayaan, maupun keruntuhan yang dialami peran utama. Seperti naskah Tragedi lakon melodramaNaskah ini biasanya mengangkat tema percintaan, keluarga, dan kisah-kisah bahagia. sun/iwd
Tulisan ini membahas tentang cara analisis teks lakon dengan cara strukturalisme Levi-Strauss. Sebuah cara analisis yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam memahami kandungan sebuah naskah lakon. Dengan pendekatan penelitian kualitatif, dalam tulisan ini diuraikan tentang konsep-konsep dasar analisis lakon menggunakan pendekatan strukturalisme yang direkomendasikan oleh Levi-Strauss. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang MELIHAT TEKS LAKON SEBAGAI MITOS ANALISIS DRAMA DENGAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS Dede Pramayoza Program Studi Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang Jl. Bahder Johan, Padangpanjang Timur, Padangpanjang, Sumatera Barat 27128 PENDAHULUAN Model analisis struktur dan tekstur yang direkomendasikan George Kernodle adalah cara analisis lakon yang lazim digunakan dalam analisis drama Kernodle, 1967. Bisa dikatakan bahwa cara analisis itu menjadi perpektif klasik dalam perkembangan ilmu seni teater di ABSTRACT This study describes the analysis method of play text based on Claude Levi-Strauss method, which is commonly referred as Structuralism. The research method used is a qualitative method, with a literature study data collection technique, namely by studying a thesis written by Tatang Abdullah. The analytical method applied is descriptive analysis, by finding understanding through the description of the data. The analysis stages consist of 1 descriptions of myths and myths, which are basically similar to descriptions of the plot of the drama and the journey of the characters; 2 the codification of mythical structures, which is similar to dramatic rhythm analysis; and 3 ideological identification in myth, which is similar to the search for drama themes. The result of the research shows that the play text that departs from the richness of folklore can be treated as a myth and analyzed with Levi-Strauss structuralism. This method of analysis can be an alternative in understanding a play text, which is one of the important tasks of dramaturgy. Keywords structuralism; Levi-Strauss; play text; drama analysis; dramaturgy ABSTRAK Penelitian ini menguraikan tentang metode analisis teks lakon berdasarkan cara Claude Levi-Strauss, yang lazim dinamakan sebagai Strukturalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data studi pustaka, yakni dengan mempelajari sebuah tesis yang ditulis Tatang Abdullah. Metode analisis yang diterapkan adalah analisis deskriptif, dengan cara menemukan pemahaman melalui uraian data. Tahapan analisis terdiri atas 1 deskripsi mitos dan miteme, yang pada dasarnya serupa deskripsi atas alur drama dan perjalanan karakter; 2 kodifikasi struktur mitos, yang mirip dengan analisis irama dramatik; dan 3 identifikasi ideologi dalan mitos, yang mirip dengan pencarian tema drama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks lakon yang berangkat dari kekayaan folklore dapat diperlakukan sebagai sebuah mitos dan dinalisis dengan strukturalisme Levi-Strauss. Cara analisis ini dapat menjadi alternatif dalam memahami suatu teks lakon, yang merupakan salah satu tugas penting dramaturgi. Kata Kunci strukturalisme; Levi-Strauss; teks lakon; analisis drama; dramaturgi Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Indonesia. Hampir semua analisis atas lakon dilakukan dengan melihatnya berdasarkan plot, karakter, dan tema. Sementara itu tinjauan atas genre lakon, kekhasan, konvensi, dan gaya lakon masih jarang dilakukan. Ditinggalkannya hal-hal yang terakhir ini dalam analisis teks dramatik tampaknya dilandasi oleh sebuah kesulitan tersendiri yang ditimbulkannya, terutama jika berhadapan dengan teks-teks lakon yang diproduksi di Indonesia. Pengamatan lebih saksama atas lakon-lakon Indonesia menunjukkan bahwa berbeda dengan lakon-lakon Barat’, lakon-lakon Indonesia memiliki identifikasi jenis, konvensi, dan gaya yang relatif tidak bisa begitu saja dilihat ekivalen dengan, misalnya, komedi-tragedi serta realisme-non realisme yang berlaku di gelanggang teater Barat’. Alternatif model analisis atas struktur lakon-lakon di Indonesia kiranya pantas dipikirkan, mengingat analisis lakon atau analisis teks dramatik merupakan salah satu hal penting dalam produksi seni teater, di samping tentunya analisis pertunjukan atau analisis teks teatrikal itu sendiri. Seperti dinyatakan Keir Elam, kedua teks ini saling berkaitan dalam konteks produksi teater. Karena itu, selain untuk kebutuhan kajian seni teater dan drama, analisis lakon juga dibutuhkan dalam kerangka produksi pertunjukan teater Elam, 1980. Dramaturgi, satu ilmu dasar dalam seni teater, di masa kini tidak lagi dipahami sekadar sebagai suatu disiplin yang mempelajari tentang hukum dan konvensi drama, melainkan juga teorisasi atas struktur dramatik dan logika internal teks lakon tertentu serta pementasannya Pramayoza, 2013a. Artinya, selain berkaitan dengan struktur internal dari sebuah teks lakon, yang berkaitan dengan susunan elemen-elemen formal lakon konstruksi narasi, karakter, kerangka waktu dan aksi panggung, dramaturgi juga dapat merujuk kepada unsur-unsur eksternal yang berkaitan dengan pementasan, konsep di balik pementasan, nilai politis pementasan, dan pertimbangan respons penonton Luckhurst, 2005. Pengertian dramaturgi serupa ini, mengandaikan pentingnya penafsiran teks lakon oleh sutradara, untuk dapat menentukan penyikapan atas teks lakon tersebut dalam rangka menuju ke pementasan multi dimensional, atau dengan kata lain berkaitan dengan tindakan interpretatif dalam penciptaan pementasan teater. Apalagi, dewasa ini dramaturgi telah memanfaatkan beberapa pendekatan lain, untuk membaca tanda-tanda yang terdapat suatu teks lakon dan teks pementasan, atau bahkan membaca wacana yang memberi roh’ bagi suatu produksi seni teater. Bahkan, dramaturgi juga telah mencoba menjelaskan faktor-faktor yang menghasilkan suatu pola dramaturgi, berdasarkan tinjauan atas faktor-faktor kesejarahan dan sosiologi-budaya. Semiotika teater, adalah satu cara analisis yang kerap kali digunakan. Suatu cara pandang, yang melihat suatu pementasan teater sebagai suatu bentuk sistem penandaan atau sistem tanda Pramayoza, 2013b. Analisis drama itu sendiri, adalah salah satu tugas penting dari dramaturg, atau dengan kata lain peran penting dramaturgi dalam teater. Seorang Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang dramaturg, umumnya diminta untuk berperan sebagai Manajer Sastra Literary Manager yang bertugas membaca dan membuat laporan atas suatu naskah drama, atau teks lakon yang akan dipentaskan. Berdasarkan itu, seorang dramaturg kemudian membuat rekomendasi tentang naskah drama atau teks lakon kepada sutradara atau direktur artistik untuk menjadi pertimbangan-pertimbangan utama dalam produksi Romanska, 2007. Pementasan-pementasan teater di Indonesia dewasa ini semakin banyak yang berangkat dari kekayaan folklore lokal Indonesia sendiri. Berbagai pementasan itu berangkat dari sebuah naskah lakon yang terkadang tidak sepenuhnya dapat didekati dengan analisis lakon atau analisis drama konvensional. Namun demikian, di dalam pementasan itu tentunya tetap terdapat adanya lakon, atau kisah dramatik, sebab mustahil dapat menjadi pementasan teater tanpa adanya sifat tersebut. Namun demikian, folklore tersebut telah mengalami transformasi. Sebagai contoh dari transformasi ialah apa yang dilakukan oleh Yusril Katil sutradara dan dengan Rhoda Grauer dramaturg dalam Under The Volcano, yang berangkat dari Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh Pramayoza et al., 2018. Atau apa yang tampak pada pementasan Nostalgia Sebuah Kota, karya sutradara Iswadi Pratama, yang berangkat dari penggalan puisi Gusrizal et al., 2021. Hal serupa terjadi pula dalam karya-karya yang berangkat dari legenda atau kaba, sebagaimana tampak dalam Pray For Sabai Darmadi et al., 2016, bahkan dalam teater rakyat sebagai mana tampak antara lain dalam karya Keangkuhan karya Jonhar Saad dalam pertunjukan Dulmuluk Fitria et al., 2016. Berbagai fenomena terjadinya transformasi teks bukan drama menjadi teks drama tersebut, tentunya membutuhkan peranti analisis. Sebab, pembacaan atas berbagai karya dramatik serupa itu tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan konsep struktur dan tekstur ala Kernodle. Berangkat dari kenyataan itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu tawaran atas model analisis lakon dengan memanfaatkan peranti ilmu lain, dalam hal ini antropologi, secara lebih khusus antropologi struktural Claude Levi-Strauss, dengan melihat berbagai karya dramatik baru tersebut sebagai sebuah mitos. Uraian dalam tulisan ini didasarkan pada sebuah tinjauan atas satu tesis di program studi Pascasarjana Antropologi UGM Yogyakarta. Tesis yang dikerjakan oleh Tatang Abdullah tersebut, mencoba menelisik tiga lakon karya Arthur S. Nalan dengan menggunakan metode analisis struktural Levi-Strauss, salah satu pendekatan yang cukup populer dalam bidang antropologi mutakhir. Analisis struktural Levi-Strauss sendiri telah banyak diterapkan pada berbagai karya satra, baik karya Sastra Modern maupun sastra lisan. Namun penerapan atas teks lakon masih sangat jarang dilakukan. Analisis atas karya sastra dengan pendekatan strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia, dipelopori Heddy Shri Ahimsa-Putra, dengan menganalisis karya-karya novel Umar Kayam Ahimsa-Putra, 2006. Adapun penerapan atas Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang puisi dilakukan oleh Kris Budiman Budiman, 1994. Berbagai penelitian lain juga meneruskan dengan menganalisi cerita populer dan cerita rakyat, antara lain menunjukkan bahwa dalam keseluruhan cerita Seribu Satu Malam, terdapat benang-benang ceritheme yang menghubungkan antara satu cerita dengan cerita lain Yanti Kh., 2009. Model analisis Strukturalisme Levi-Strauss juga mempu menunjukkan adanya relasi konteks sejarah, makna, hingga adat dan budaya, sebagaimana tampak dalam analisis atas cerita rakyat Jawa berjudul Tundung Mediyun Afiyanto & Nurullita, 2018. Analisis model yang sama juga mampu mengungkapkan nilai-nilai pelestarian yang dianut suatu kelompok etnik dari suatu novel sebagaimana nasehat pelestarian masyarakat, lingkungan alam, hewan, dan manusia melalui budaya dari masyarakat Tionghoa-Jambi dalam Novel Mempelai Naga karya Meiliana K. Tansri Putro & Widowati, 2014. Pandangan Strukturalisme Levi-Strauss, penting dalam pembangunan ilmu pengetahuan kontemporer. Sebab, perspektif ini memberi pemahaman tentang kesetaraan antar bangsa, dimana posisi subjek-objek yang selama ini berarti Barat-Timur, kini diletakkan dalam humanisme yang setara, melalui perbandingan-perbandingan antar struktur budaya, yang memperlihatkan kesejajaran dan bahkan kemiripan Levi-Strauss, 2021. Tulisan ini ditujukan untuk menunjukkan seperlunya kemungkinan pemanfaatan model analisis struktural Levi-Strauss tersebut bagi analisis lakon khususnya, dan pengembangan ilmu Teater di Indonesia pada umumnya. Mengetengahkan secara kritis model analisis lakon berdasarkan analisis struktural Levi-strauss itu, tulisan ini akan diawali dengan premis-pemis dasar, yang dilanjutkan dengan prosedur analisis, yang terurai dalam tiga tahapan, yakni 1 uraian mitos dan miteme; 2 uraian struktur mitos; dan 3 uraian ideologi di balik mitos. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif, berorientasi pada pencarian makna dan pemahaman mendalam atas suatu objek kebudayaan, yang dengan meminjam istilah Max Weber dikatakan sebagai verstehen memahami Endraswara, 2003. Model penelitian strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa ciri, yakni pertama, ia adalah gabungan antara ilmu pengetahuan murni science dan ilmu pengetahuan tentang manusia humaniora. Kedua, pendekatan ini mengadopsi model analisis linguistik struktural dari Ferdinand de Saussure Endraswara, 2003. Pandangan yang kedua inilah yang sangat mencirikan analisis strukturalisme Levi-Strauss, dimana ia memandang mitos sebagaimana layaknya bahasa. Maka, sebagaimana adanya la langue dan la parole dalam Bahasa, Levistrauss memandang di dalam mitos terdapat aspek sinkronik dan diakronik. Aspek sinkronik dari mitos adalah unsur dalam mitos yang berasal dari masa lalu namun masih relevan di masa kini, sedangkan aspek diakronik mitos adalah unsur dari Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang masa lalu yang masih bertahan hingga di masakini. Berdasarkan pemahaman itu, penelitian dilakukan dengan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka, yakni dengan mempelajari sebuah tesis yang ditulis Tatang Abdullah. Metode studi pustaka, berorientasi pada pencarian pemahaman berdasarkan pada data sumber kedua atau sekunder. Artinya, peneliti tidak berhadapan langsung dengan objek penelitian Zed, 2004. Dalam Hal ini, objek penelitian yang dihadapi adalah sebuah tesis yang ditulis oleh Tatang Abdullah berjudul “Analisis struktural Levi-Strauss terhadap tiga lakon karya Arthur S Nalan Kajian transformasi tokoh dalam lakon Rajah Air, Kawin Bedil, dan Sobrat.” Abdullah, 2005 Metode analisis yang diterapkan adalah analisis deskriptif, dengan cara menemukan pemahaman melalui uraian data. Dari pembacaan terhadap tesis tersebut didapatkan uraian tentang cara atau prosedur analisis suatu teks lakon berdasarkan strukturalisme Levi-Strauss. Tahapan analisis tersebut terdiri atas tida langkah, yakni 1 deskripsi mitos dan miteme mytheme, yang pada dasarnya serupa deskripsi atas alur drama dan perjalanan karakter; 2 kodifikasi struktur mitos, yang mirip dengan analisis irama dramatik; dan 3 identifikasi ideologi dalan mitos, yang mirip dengan pencarian tema drama. Secara teoretik, analisis berangkat dari pemahaman bahwa bagi Levi-Strauss, mitos atau mitologi adalah pantulan dari struktur sosial dan hubungan-hubungan dalam sistem sosial Levi-Strauss, 2009 277. Cara analisis atas suatu mitos, menggaris bawahi tiga hal. Pertama, jika mitos memiliki makna, maka makna tersebut tidak dapat ditemukan dengan berpegang pada elemen-elemen yang terpisah, melainkan pada cara elemen-elemen tersebut saling berhubungan. Kedua, mitos muncul dari tatanan langage yang merupakan suatu keutuhan integral meskipun langage yang terdapat dalam suatu mitos dapat memiliki artinya tersendiri, yakni manifestasi dari sifat khasnya masing-masing. Ketiga, karenanya pencarian atas makna suatu mitos hanya dapat dilakukan di atas’ atau melampaui tingkat ekspresi kebahasaannya, yakni makna yang lebih kompleks dibandingkan apa yang diekspresikan oleh bahasa Levi-Strauss, 2009 281-282. HASIL DAN PEMBAHASAN Premis-Premis Dasar Mengawali uraian dalam tesisnya, Tatang Abdullah mengetengahkan bahwa teks drama atau naskah lakon, pada dasarnya merupakan fenomena budaya. Berlandaskan pada alasan itulah, ia kemudian memilih tiga lakon yang ditulis oleh Arthur S. Nalan, untuk dianalisis dengan menggunakan metode analisis struktural, sebagaimana yang dilakukan Levi-Strauss terhadap mitos Oedipus, serta yang diterapkan Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap tiga novel karya Umar Kayam. Sebagai empasis penelitiannya, Tatang Abdullah mencoba membuktikan terjadinya transformasi atas tiga karakter tokoh penokohan yang terdapat pada ketiga lakon itu, sebagai bukti bahwa terdapat suatu pola umum Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang atau struktur yang identik di balik penulisan lakon-lakon tersebut. Tiga naskah drama atau teks lakon karya Arthur S. Nalan yang dianalisis adalah naskah lakon Kawin Bedil 1998, naskah lakon Rajah Air 1999, naskah lakon Sobrat 2003. Naskah lakon Kawin Bedil dan Sobrat adalah naskah pemenang dalam Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta, masing-masing pada Sayembara Penulis Roman, Drama Umum dan Drama Anak-Anak Tahun 1998, di mana naskah lakon Kawin Bedil menjadi Pemenang Harapan, dan pada Sayembara serupa tahun 2003 di mana naskah lakon Sobrat menjadi Pemenang Pertama. Tesis ini pada dasarnya mencoba membuktikan dua hal. Pertama, membuktikan adanya kemiripan antara tokoh Siti Larom SL dari lakon Rajah Air RA, tokoh Dayu Dedes DD dari lakon Kawin Bedil KB, dan tokoh Sobrat ST dari lakon Sobrat ST, yang ketiga lakonnya ditulis oleh Arthur S. Nalan ASN. Dan kedua, membuktikan terjadinya transformasi antar ketiga tokoh yang terdapat dalam tiga lakon berbeda, yang sama-sama ditulis oleh ASN tersebut. Untuk tujuan itu, Tatang Abdullah kemudian menggunakan teori Strukturalisme yang dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss, yang meyakini bahwa terdapat keteraturan yang hakiki di balik setiap fenomena budaya, sesuatu yang dinamakan sebagai struktur, suatu hubungan atas unsur-unsur, di mana perubahan pada salah satu di antaranya menghasilkan perubahan bagi semua unsur tersebut. Keteraturan atau struktur tersebut, dapat pula dilihat pada beberapa fenomena yang kelihatannya berbeda-beda, namun sebenarnya menyimpan pola yang sama, yang dapat dibuktikan melalui konsep transformasi. Transformasi dalam strukturalisme Levi-Strauss, diartikan sebagai alih rupa’ pada tataran permukaan, yang menegaskan bahwa pada tataran yang lebih dalam, yang terjadi sesungguhnya adalah keterulangan’ pola atau struktur. Atau dengan kata lain, konsep transformasi dalam strukturalisme Levi-Strauss menyatakan bahwa perubahan pada suatu mitos, seringkali masih membawa beberapa unsur dari mitos lama, baik secara diakronik maupun sinkronik. Berpijak pada konsep transformasi dalam pengertian Strukturalisme Levi-Strauss tersebutlah, Tatang Abdullah kemudian mencoba melihat adanya keterulangan’ pola pada tiga fenomena budaya, yang dalam hal ini adalah teks drama, atau naskah lakon yang ditulis oleh ASN, seorang pengarang asal kota Bandung. Tiga naskah lakon yang dianalisis, masing-masing RA, KB, ST dipilih dengan beberapa pertimbangan. Pertama, karena ketiganya adalah naskah pemenang Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta, yang dipandang Tatang Abdullah sebagai indikator kualitas naskah-naskah bersangkutan. Kedua, karena memiliki atau memperlihatkan adanya kemiripan satu sama lain, yang dipandang Tatang Abdullah dapat membuktikan terdapatnya suatu pola umum atau struktur, dan karenanya relevan untuk dianalisis dengan menerapkan pendekatan yang dipilih, yaitu Strukturalisme Levi-Strauss. Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Untuk keperluan itu, Tatang Abdullah membatasi amatannya pada penokohan karakter tokoh. Ia memilih masing-masing satu tokoh dari setiap lakon, yang dipandang dapat dijadikan indikator untuk memahami keseluruhan lakon, dan pada akhirnya memahami pikiran ASN, sang pengarang. Hal ini dilandaskan pada teori yang menyatakan bahwa penokohan karakter tokoh merupakan unsur terpenting dari setiap naskah lakon, dan analisis terhadapnya adalah hal terpenting yang harus dilakukan dalam rangka memahami pikiran pengarang. Mengutip pendapat Soediro Satoto 1998, Tatang Abdullah melakukan analisis terhadap penokohan, berdasarkan pada tiga dimensi karakteristik tokoh, yaitu 1 dimensi fisik ciri-ciri badani; 2 dimensi sosiologis ciri-ciri kehidupan dalam masyarakat; dan 3 dimensi psikologis ciri-ciri kejiwaan. Tokoh-tokoh yang dipilih untuk dianalisis tersebut adalah SL dari lakon RA, tokoh DD dari lakon KB, dan tokoh ST dari lakon ST. Tahapan-Tahapan Analisis 1. Deskripsi Mitos dan Miteme Tatang Abdullah memulai analisisnya dengan cara menguraikan setiap lakon sebagai sebuah narasi. Lakon RA, bercerita tentang seorang tokoh bernama Mbok Rikip MR yang pada suatu malam didatangi Gusti Semar GS, yang memberitahukan bahwa bendungan Bumitirto akan jebol. Semua itu akibat dari ulah carik Suro Abro SA, yang menjadikan bendungan itu sebagai tempat maksiat. MR kemudian berusaha memperingatkan SA, namun SA tidak percaya. SA malah kemudian menculik Siti Larom SL untuk mengorek keterangan tentang mimpi MR. SL tokoh yang selanjutnya akan dianalisis, yang merupakan anak hasil hubungan di luar nikah antara MR dengan SA di masa lalu, berusaha menyadarkan SA. Karena tidak mengetahui bahwa SL adalah anaknya sendiri, SA kemudian malah melampiaskan nafsunya kepada SL, dan kemudian membunuhnya. MR lalu datang bersama GS, dan SL hidup kembali. SA yang menyadari bahwa mimpi MR mulai menjelma menjadi kenyataan, kemudian menjadi gila dan membuang dirinya sendiri. Sementara lakon KB, menceritakan tentang seorang tokoh bernama Dayu Remes DR, yang memiliki cucu bernama Dayu Dedes DD. DD tokoh yang selanjutnya akan dianalisis adalah seorang perempuan cantik yang menjadi juara samseng. DR kemudian mewariskan ilmunya kepada DD dengan bantuan Durga Umayi DU. Seorang raja bernama Rajagung Malak RM, ingin menggenapkan selirnya menjadi 100 orang dengan mempersunting DD. Meski ditentang oleh ratunya, Ratugung Malak UM, namun RM tetap bersikeras. UM kemudian meracuni RM dan mengambil alih kekuasaan. Pemerintahan UM menimbulkan pemberontakan di mana-mana. UM lalu menangkap para pemberontak, dan di antara mereka terdapat DD, dan Gusti Angrok GA, yang merupakan titisan Dewa Siwa. DD yang merupakan titisan DU, dengan bantuan GA, kemudian meruwat UM yang merupakan titisan Durga Mahisasuramardini DM, saudara kembar DU yang jahat. UM lalu menjadi Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang gila, sedang DD dan GA lalu dikukuhkan sebagai pasangan. Sedang lakon ST, bercerita tentang seorang tokoh bernama Sobrat ST, lelaki yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di negeri orang. Ia pergi tanpa pamit pada Mimi MI, ibunya. ST tokoh yang selanjutnya akan dianalisis pergi ke sebuah negeri bernama Bukit Kemilau, sebuah penambangan emas milik tuan Tuan Balar TB. Di atas kapal menuju tempat itu, ST berjumpa dengan Rasminah RH. Di bukit kemilau ST menjadi kuli, namun harapannya untuk menjadi kaya tidak kunjung terwujud, malah terlibat hutang banyak kepada TB, karena judi dan main perempuan. ST lalu terjatuh ke dalam sebuah sumur, yang mengantarnya ke Negeri Siluman. Di Negeri Siluman, ia bertemu dengan Silbi Genderuwi SG. ST dan SG lalu kawin, dengan sebuah perjanjian. ST lalu kembali ke pertambangan, dengan modal emas pemberian SG, ia membebaskan dirinya dari TB. ST lalu mencari RH, yang kini menjadi seorang nyai. ST mengajak RH pergi, mereka pulang ke kampung halaman. Betapa kecewanya ST mendapati MI ibunya sudah tiada. ST lalu menikahi RH, dan menjadi bisu tuli karena telah melanggar perjanjiannya dengan SG. 2. Kodifikasi Struktur Mitos Melalui cerita masing-masing lakon, yang diuraikan berdasarkan babak dan adegan seperti di atas, Tatang Abdullah kemudian mengetengahkan analisis struktur. Analisis dilakukannya dengan membagi masing-masing lakon menjadi lima episode, yaitu 1 episode latar belakang tokoh; 2 episode pertentangan; 3 episode puncak pertentangan; 4 episode penyelesaian masalah; dan 5 episode kesimpulan atau akhir cerita. Lima episode ini, diketengahkan dengan merujuk pada pembagian tangga dramatik Gustav Freytag, sebagaimana yang dikutip RMA. Harymawan dalam bukunya Dramaturgi, yaitu eksposisi; rising action; konflikasi; klimaks; resolusi; dan konklusi Dewojati, 2010; Harymawan, 1993. Sebagai piranti analisis, Tatang Abdullah menggunakan konsep miteme mytheme, yang dipakai untuk melihat persamaan dan perbedaan dari penokohan-penokohan yang telah dipilih, yaitu SL, DD, dan ST. Masing-masing penokohan, kemudian dilihat posisinya dalam rantai episode, seperti yang telah dijelaskan pada alinea di atas. Kedudukan dan fungsi tokoh di dalam cerita, kemudian dilihat seperti hubungan sintagmatis dan paradigmatis dalam bahasa, dengan rantai episode sebagai kalimatnya. Dengan cara tersebut, Tatang Abdullah bermaksud melihat penokohan sebagai miteme, yang memperlihatkan gambaran perkembangan karakter tokoh, berdasarkan tiga dimensi karakter tokoh, seperti yang telah dijelaskan pada alinea terdahulu. Pada episode latar belakang tokoh, ditemukan paling tidak lima miteme, yaitu 1 jenis kelamin’; 2 keluarga’; 3 ekonomi’; 4 kehendak’ dan; 5 posisi dalam keluarga’. Tokoh SL dan DD, yang sama-sama perempuan beroposisi dengan tokoh ST yang laki-laki. Oposisi juga terlihat pada miteme ekonomi’, di Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang mana SL dan ST miskin, sedang DD keluarga sederhana. Sementara pada miteme kehendak, SL dan DD sama-sama menjalani hidup berdasarkan kemauannya sendiri, yang beroposisi dengan ST yang menjalani hidup atas kemauan orang lain. Namun ketiga tokoh tersebut, memiliki kesamaan pada miteme keluarga’ dan posisi dalam keluarga’, yaitu sama-sama anak tunggal dan memiliki posisi khusus, baik sebagai anak, maupun cucu. Pada episode pertentangan, terdapat tiga miteme, yaitu 1 miteme ciri-ciri muka atau wajah’, di mana baik SL, DD, maupun ST memiliki penampilan yang baik, yaitu cantik dan ganteng; 2 miteme pekerjaan atau peranan dalam masyarakat’ di mana SL dan DD yang bekerja tampa pamrih, beroposisi dengan ST yang bekerja dengan pamrih; dan 3 miteme mentalitas, moral atau norma’, yang mempersamakan ketiga tokoh ini sebagai karakter yang menghormati orang tuanya masing-masing. Miteme-miteme yang mirip ditemukan pada episode puncak pertentangan, dengan oposisi yang berbeda, yaitu 1 miteme keadaan tubuh’, di mana baik SL, DD, maupun ST memiliki tubuh yang ideal; 2 miteme pandangan masyarakat’ di mana ketiganya sama-sama dikagumi orang; dan 3 miteme norma agama’, di mana DD dan ST yang pendendam beroposisi dengan SL yang pemaaf. Miteme-miteme yang berbeda, kemudian ditemukan pada episode penyelesaian masalah, yaitu 1 miteme orientasi hidup’, di mana SL yang menerima hidup apa adanya, beroposisi terhadap DD dan ST, yang menolak; dan 2 miteme sikap dan prilaku’, di mana SL dan DD yang persoalannya diselesaikan oleh orang lain, yaitu MR dan DR, beroposisi dengan ST yang menyelesaikan masalahnya sendiri. Demikian pula pada episode kesimpulan atau akhir cerita, yang menghadirkan empat miteme miteme berbeda, yaitu 1 miteme status sosial’, di mana SL, DD, dan ST, akhirnya sama-sama kawin; 2 miteme pikiran dan perasaan’ di mana SL dan DD bahagia, sedang ST menyesal; 3 miteme kekerabatan’, di mana SL, DD dan ST, dipersatukan oleh kehilangan orang tuanya masing-masing; dan 4 miteme akhir kisah’, di mana SL dan ST yang identitasnya terbuka di akhir kisah, beroposisi dengan DD yang identitasnya terbongkar lebih dulu. Berdasarkan semua miteme yang berhasil ditemukannya pada alur dramatik tersebut, dapat dilihat bahwa masing-masing tokoh, dihubungkan satu sama lain oleh logika homologi kesamaan, oposisi keberlawanan, inversi keterbalikan, dan akhirnya transformasi alih rupa. Semua itu dipandang sebagai bentuk variasi terhadap tema yang sebenarnya sama. Namun demikian, masing-masingnya terlihat berbeda karena disusun dalam rantai sintagmatis dan paradigmatis yang seolah-olah’ berbeda. Tatang Abdullah kemudian mencoba membuktikan bahwa perbedaan tersebut hanya terjadi pada tataran luar’, sedangkan pada tataran dalam’, tema, maupun nilai dan makna yang disampaikan oleh ketiga lakon tersebut, melalui karakter SL, DD, dan ST, pada dasarnya adalah sama. Dengan kata lain, yang terjadi adalah transformasi alih rupa dari tokoh yang satu, ke tokoh yang lain, demikian pula dari lakon yang Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang satu ke lakon yang lain. 3. Identifikasi Ideologi di balik Mitos Setelah menguraikan struktur masing-masing lakon, Tatang Abdullah berkesimpulan bahwa melalui ketiga lakon ini, ASN sang pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa sistem kepercayaan pada dasarnya merupakan persoalan yang universal. Hal tersebut coba diungkapkan oleh ASN dengan memilih latar belakang budaya yang berbeda bagi ketiga lakon ini, yaitu budaya Jawa untuk lakon RA, budaya Bali untuk lakon KB, dan budaya Cirebon untuk lakon ST. Kesimpulan latar belakang budaya itu, diambil Tatang Abdullah dengan memperhatikan penanda budaya yang lebih dominan berdasarkan nama tokoh, nama tempat, maupun keterangan langsung dari pengarang. Kehidupan spiritual atau sistem kepercayaan, yang dipengaruhi oleh budaya yang berbeda-beda itu, kemudian mengarah kepada etika kehidupan, yang terlihat jelas dengan memperhatikan pandangan hidup masing-masing tokoh yang telah dipilih. Mengutip pendapat Niels Mulder dalam bukunya Mistisme Jawa Ideologi di Indonesia 2001, Tatang Abdullah menyimpulkan bahwa SL, yang berlatar budaya Jawa, hidup dengan etika “sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning buwono”, yang kira kira bermakna “tanpa pamrih, rajin berkerja, memperindah dunia”. Tujuan dari etika tersebut, tidak lain daripada tercapainya “manunggaling kawula gusti”, yaitu menyatunya antara makhluk dan penciptanya, serta keselarasan hidup antara manusia dengan alam. Dengan kata lain, tercapainya harmoni kehidupan. Sementara DD, yang berlatar budaya Bali, hidup dalam kepercayaan kepada niskala ghaib, yaitu penghormatan kepada dewa-dewa dan ajaran untuk selalu berbuat kebajikan. Dengan mengutip Jansen, dalam buku berjudul Orang Bali 1996, Tatang Abdullah mengatakan bahwa untuk itu, seseorang harus selalu menjaga keseimbangan antara tiga komponen, yaitu 1 buwana alit mikrokosmos, yaitu si manusia itu sendiri; 2 buwana agung makrokosmos, yaitu alam semesta; dan 3 Sang Hyang Widi Wasa, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun ST, yang berlatar budaya Cirebon, hidup dalam budaya yang berbaur melting pot, antara budaya Sunda dan Jawa, demikian pula antara konsep keimanan Islam dan pandangan mistik. Mengutip pendapat Muhaimin dalam bukunya berjudul Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon 2001, Tatang Abdullah menyatakan bahwa tokoh ST harusnya menghormati tempat-tempat kramat tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib, menghindari nyupang mencari keuntungan melalui perjanjian dengan setan atau jin jahat, dan tidak terpengaruh pada memedi atau wewedan hantu. Kesalahan ST, dengan tidak mematuhi etika itu, telah mendorongnya untuk melakukan malima lima dosa, yaitu 1 madat menghisap candu; 2 maling mencuri; 3 maen berjudi; madon berganti-ganti wanita; dan 5 mabok minum minuman keras, sesuatu Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang yang seharusnya ia jauhi. Padahal, mematuhi lima larangan ini, merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan. Memperhatikan pandangan hidup ketiga tokoh tersebut, Tatang Abdullah sampai pada kesimpulan tentang terjadinya transformasi. Pertama, transformasi terlihat pada tataran peristiwa, di mana baik SL, DD, dan ST, mengalami peristiwa-peristiwa yang dapat dilihat sebagai urutan yang sama, yaitu Latar Belakang Tokoh –Pertentangan – Puncak Pertentangan – Penyelesaian Masalah – Kesimpulan atau Akhir Cerita. Kedua, meski latar budaya masing-masing tokoh berbeda, namun persoalan yang mewarnai peristiwa yang mereka alami adalah sama, yaitu sistem kepercayaan. Hal itu semakin dikuatkan dengan hadirnya tokoh-tokoh mitis mythical figure, yaitu Gusti Semar, Durga Umayi, dan Silbi Genderuwi, yang memperlihatkan bahwa untuk menumpas kejahatan, seringkali diperlukan kekuatan-kekuatan adikodrati. Kehadiran tokoh-tokoh mitis dalam ketiga lakon tersebut, dipandang Tatang Abdullah sebagai bentuk hilangnya batas antara mikrokosmos dan makrokosmos. Lebih jauh, hal itu dipandang sebagai gambaran bahwa tokoh SL, DD, dan ST berada dalam ruang liminal ambang, dalam hal sistem kepercayaan. Mengutip Victor Turner 1967 dan Heddy Shri Ahimsa-Putra 2001, Tatang Abdullah berpendapat bahwa SL, DD, dan ST sama-sama berada dalam kondisi betwixt and between tidak di sini dan tidak di sana. SL dan ST berada antara dua sistem kepercayaan yakni Islam dan Non-Islam, sedang DD berada di antara Hindu dan Non-Hindu. Pada akhirnya, Tatang Abdullah sampai pada kesimpulan, bahwa melalui ketiga tokoh dalam tiga lakon tersebut, ASN sebagai pengarang ingin mengungkapkan bahwa satu persoalan penting dalam kehidupan manusia adalah kehadiran kekuatan lain di luar kemampuan manusia. Kepercayaan terhadap kehadiran kekuatan lain ini, pada gilirannya membentuk prilaku adat-istiadat manusia, dalam rangka menjaga keseimbangan seluruh proses kehidupan. Bentuk-bentuk prilaku yang erat kaitannya dengan sistem kepercayaan inilah yang merupakan struktur dalam deep structure dari ketiga lakon yang ditulis ASN ini. Dengan demikian, menurut Tatang Abdullah, keseluruhan lakon pada dasarnya adalah refleksi diri ASN, sang pengarang sendiri. ASN mewujudkan dalam dirinya kepercayaan tentang kekuatan adikodrati Gusti Semar, Durga Umayi, dan Silbi Genderuwi, yang kemudian diproyeksikannya ke dalam lakon, dalam wujud tokoh Siti Larom, Dayu Dedes, dan Sobrat. Sehingga, Arthur S. Nalan, Siti Larom, Dayu Dedes, dan Sobrat, sesungguhnya adalah perwujudan dari nilai-nilai religius yang sama, yang berjuang untuk menjaga keseimbangan hidup. Beberapa Catatan Kritis Tesis Tatang Abdullah, tentunya memperlihatkan bagaimana strukturalisme Levi-Strauss diterapkan dalam analisis teks drama atau naskah lakon. Lebih khusus, kajian ini memberikan tawaran tentang analisis karakter tokoh penokohan, melalui Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang pembacaan terhadap perkembangan karakter tokoh, yang diletakkan sebagai miteme dalam rantai episode cerita atau alur dramatik. Sebagaimana disinggung Tatang Abdullah, penokohan merupakan unsur terpenting dalam naskah lakon, tidak saja karena penokohan merupakan instrumen penyampai dialog, yang kemudian menggulirkan wujud dramatik, tetapi juga karena penokohan dapat membantu dalam memahami pikiran pengarang. Kajian semacam ini, dapat memberikan alternatif yang bermanfaat bagi khasanah pengkajian drama dan teater secara umum, khususnya analisis teks lakon/ teks dramatik. Dengan model kajiannya ini, Tatang Abdullah menawarkan suatu metode dalam memahami struktur, dan makna, bahkan ideologi yang terdapat dalam sebuah naskah lakon. Namun demikian, kiranya terdapat beberapa hal yang masih perlu disempurnakan dari model analisis yang dilakukan Tatang Abdullah ini, terutama bagi peneliti seni teater lain yang bermaksud menggunakan model analisis yang sama, terhadap objek penelitian yang berbeda. Pertama, adalah hal-hal yang berkaitan dengan kerangka konseptual. Misalnya, tentang rasionalisasi objek penelitian, yaitu teks drama atau naskah lakon yang dipilih, dalam kaitannya dengan relevansi teori yang digunakan, yaitu strukturalisme Levi-Strauss. Sebagaimana diketahui, semula Levi-Strauss mengembangkan model analisis struktural ini untuk memahami sejumlah mitos, yaitu mitos Oedipus di Eropah, dan mitos masyarakat suku Indian di Amerika. Hal itu dilakukan dengan asumsi bahwa setiap mitos merupakan perwujudan dari struktur penalaran atau logika tertentu. Sehingga, analisis terhadap suatu mitos yang dipercaya oleh suatu masyarakat, dapat membantu untuk memahami struktur penalaran yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan. Untuk itu, sebelum masuk ke dalam analisisnya, peneliti yang akan menggunakan model analisis struktural Levi-Straus perlu membuktikan terlebih dahulu, bahwa teks drama, atau naskah lakon yang ditelitinya dapat diperlakukan layaknya sebuah mitos, sehingga metode analisis Strukturalisme Levi-Straus yang dipilihnya menjadi relevan. Sayangnya, pada konteks tesis Tatang Abdullah, hal ini belum terjadi. Tatang Abdullah hanya membuat pernyataan bahwa teks drama, dalam hal ini naskah lakon, pada dasarnya merupakan fenomena budaya yang merupakan sarana atau bentuk ungkapan pengarang dalam menyampaikan perasaan, pikiran dan pengalaman hidup. Namun ia tidak melanjutkannya dengan eksplanasi yang meyakinkan bahwa analisis terhadap naskah lakon dapat membantu untuk melihat struktur penalaran yang digunakan oleh sang pengarang, atau bahkan oleh sebuah masyarakat. Demikian pula, dalam tujuan penelitiannya, Tatang Abdullah, tidak menyinggung-nyinggung tentang penalaran atau logika di balik penulisan naskah lakon. Padahal, tesis ini sebenarnya cukup berhasil membuktikan, bahwa struktur penalaran luar surface structure yang digunakan dalam penulisan ketiga lakon ini, adalah struktur dramatik Aristotelean, yang kemudian Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang dikembangkan oleh Gustav Freitag. Bahkan, Tatang Abdullah sebenarnya cukup berhasil membuktikan bahwa ketiga lakon yang ditulis dengan memanfaatkan latar belakang budaya berbeda ini, pada dasarnya ditulis dengan struktur logika atau penalaran dalam deep structure yang sama, yaitu bahwa manusia hanya dapat hidup bahagia, jika ia berhasil membangun keselarasan antara dirinya sendiri, dengan alam, dan kekuatan adikodrati. Demikian pula dengan ketepatan pilihannya untuk memilih penokohan sebagai pintu-masuk menuju telaah keseluruhan. Levi-Strauss sendiri meyakini, bahwa setiap mitos memberi tempat khusus pada penokohan tertentu, untuk menginformasikan secara ekplisit suatu kondisi sosial. Sebagai perbandingan, dapat diperhatikan analisis yang dilakukan Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap novel Umar Kayam, dan analisis Kris Budiman terhadap puisi Nyanyian Angsa karya Rendra Budiman, 1994. Dalam uraiannya, Heddy Shri Ahimsa-Putra merasa perlu untuk meyakinkan pembaca bahwa cerita-cerita yang ditulis Umar Kayam adalah objek yang tepat untuk dianalisis dengan Strukturalisme Levi-Straus, yaitu karena 1 cerita-cerita itu, seperti halnya mitos, ditulis dalam rangka mengatasi sebuah kontradiksi empiris; dan 2 karena si penulis memposisikan dirinya sebagai bagian, atau yang ikut mengalami cerita, seperti halnya individu-individu dalam masyarakat dalam melahirkan mitos Ahimsa-Putra, 2006. Demikian pula dengan Kris Budiman, yang sampai pada kesimpulan bahwa “substansi mitos adalah cerita”, sehingga puisi naratif bercerita seperti Nyanyian Angsa dapat dianalisis dengan metode analisis struktural Budiman, 1994. Selanjutnya, para peneliti yang akan menggunakan model analisis ini kiranya harus memberikan penjelasan yang memadai tentang beberapa istilah terminologi dan konsep khas Levi-Strauss. Misalnya tentang miteme, yang oleh Tatang Abdullah hanya dijelaskannya dalam glosarium’ di akhir tulisan. Sejak semula, ketika istilah miteme ditulis pertamakali dalam uraian, Tatang Abdullah tidak memberikan penjelasan defenitif tentang pengertian istilah ini, kecuali hanya dengan mengutip pendapat Heddy Shri Ahimsa-Putra. Padahal, istilah ini digunakan berulang-ulang dalam uraiannya. Apalagi, tiba-tiba Tatang Abdullah juga menggunakan istilah ceritheme tanpa alasan yang jelas, padahal sebelumnya ia hanya menggunakan istilah miteme secara terus-menerus. Demikian pula dengan penggunaan istilah sintagmatis dan paradigmatis. Dua istilah yang diambil dari istilah Linguistik ini, tidak mendapatkan penjelasan yang cukup memadai dalam kaitannya dengan penggunaannya dalam analisis lakon. Tatang Abdullah tidak memberikan penjelasan, pada tataran bagaimana relasi-relasi dalam lakon bisa dipahami sebagai hubungan sintagmatis, dan dalam pengertian yang seperti apa pula hubungan paradigmatis terjadi. Padahal, bisa dinyatakan secara eksplisit bahwa hubungan Latar Belakang Tokoh – Pertentangan – Puncak Pertentangan – Penyelesaian Masalah – Kesimpulan atau Akhir Cerita pada Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang sebuah struktur dramatik dapat dipahami sebagaimana layaknya hubungan S – P – O – K dalam kalimat, sementara flash back kilas balik dan foreshadow bayangan awal dalam penceritaan dapat berfungsi seperti halnya perubahan struktur kalimat dalam aturan kebahasaan. Dengan cara itu, kiranya pemahaman tentang istilah sintagmatik dalam model analisis sudah terjelaskan. Selanjutnya, dengan menunjukkan bahwa variasi miteme mytheme, cerita, tokoh, nama tempat, dan sebagainya antara lakon yang satu dengan yang lain, dapat dipahami sebagaimana sebuah kata disubstitusi dalam kalimat, yang sebenarnya tetap memiliki tujuan yang sama, maka istilah paradigmatik pun bisa terjelaskan. Selain defenisi terhadap terminologi khusus, hal yang patut diperhatikan adalah penggunaan referensi primer, yaitu tulisan Levi-Strauss sendiri. Pada konteks tulisan Tatang Abdullah, hampir semua pendapat atau konsep strukturalisme yang dinyatakan sebagai teori Levi-Strauss, dikutip dari sumber kedua, terutama dari tulisan Heddy Shri Ahimsa-Putra. Barangkali itulah pula sebabnya, Tatang Abdullah juga tidak menggunakan model analisis berkolom seperti yang digunakan oleh Levi-Strauss dalam menganalisis Oedipus, yang kemudian diterapkan pula oleh Kris Budiman dalam menganalisis Nyanyian Angsa. Model yang diterapkannya, rupanya merujuk banyak pada model analisis yang dikembangkan Shri Ahimsa-Putra dalam menganalisis tiga novel Umar Kayam, yaitu dengan membagi cerita menjadi episode-episode, dan langsung menguraikan miteme/ceritheme-nya. Terakhir, mengingat kemungkinan timbulnya beberapa kesamaan, yaitu 1 model analisis, seperti dengan yang dilakukan Ahimsa-Putra; dan 2 pilihan objek, sebab kisah Oedipus yang dianalisis oleh Levi-Strauss, yang sebenarnya juga tertulis dalam bentuk teks drama, maka kiranya seorang peneliti teater perlu secara eksplisit mengungkapkan sisi yang khas dalam penelitiannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh RM. Soedarsono, aspek orisinalitas dan kekhasan penelitian, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, terutama ketika memilih topik penelitian Soedarsono, 1999. Misalnya, pada konteks tulisan Tatang Abdullah, menilik pada empasis kajiannya, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep transformasi lebih menjadi fokus, dibandingkan analisis Struktural Levi-Strauss-nya secara umum. Cukup disayangkan, hal tersebut tidak tergambarkan dalam judul tulisannya. KESIMPULAN Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, kiranya telah dapat disimpulkan pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss dapat menjadi alternatif bagi kajian-kajian drama dan lakon. Tentu saja, kajian semacam ini juga bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Tatang Abdullah, kajian ini mengambil inspirasi dari penelitian Levi-Strauss sendiri, terhadap mitos Oedipus, dan penelitian Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap tiga novel Umar Kayam. Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Pendekatan analisis strukturalisme Levi-Strauss mungkin pula untuk diterapkan terhadap pertunjukan teater itu sendiri. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan beberapa pikiran. Pertama, pandangan strukturalisme Levi-Strauss itu sendiri, yang meyakini bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, sebab materi yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan. Kedua, pertunjukan teater pada dasarnya adalah kompleks bahasa, yang tersusun atas berbagai bahasa, antara lain bahasa verbal, bahasa visual, dan bahasa auditif, sehingga bisa didekati sebagaimana mitos dan bahasa yang lain. Dan ketiga, hubungan pementasan teater dengan lakon yang inheren di dalamnya, tak ubahnya seperti hubungan antara ritus dengan mitos yang menggerakkannya, sehingga pertunjukan teater dapat dibaca sebagaimana sebuah ritus dibaca. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, T. 2005. Analisis Struktural Levi-Strauss terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin Bedil, dan Sobrat. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Afiyanto, H., & Nurullita, H. 2018. Analisis Strukturalisme Lévi-Strauss dalam Cerita Rakyat Tundung Mediyun Sebagai Alternatif Baru Sumber Sejarah. Jurnal Candrasangkala Pendidikan Sejarah, 42, 81. Ahimsa-Putra, H. S. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Kepel Press, 2006. Budiman, K. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Pustaka Pelajar. Darmadi, D., Yuliadi, K., & Sahrul, S. 2016. Kaba Sabai Dalam Pertunjukan Teater “Pray for Sabai.” Bercadik Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 31, 57–65. Dewojati, C. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Gadjah Mada University Press. Elam, K. 1980. The Semiotics of Theatre and Drama. Methuen & Co. Ltd. Endraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Press. Fitria, Sahrul, & Sastra, A. I. 2016. Karakter Putri Kenanga dalam Lakon Keangkuhan Karya Jonhar Saad dalam Pertunjukkan Dulmuluk di Palembang. Bercadik Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 31, 83–91. Gusrizal, Pramayoza, D., Afrizal, H., Saaduddin, & Suboh, R. 2021. From Poetry To Performance; a Text Analysis of Nostalgia Sebuah Kota By Iswadi Pratama, a Review of Post-Dramatic Dramaturgy Dari Puisi Ke Pementasan; Teks Teater Nostalgia Sebuah Kota Karya Iswadi Pratama Dalam Tinjauan Dramaturgi Postdramatik. Gramatika Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 72, 303–321. Harymawan, R. 1993. Dramaturgi. Remaja Rosdakarya. Kernodle, G. R. 1967. Invitation to The Vol. 4, No. 2, Oktober, 2021 Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Theatre. Harcourt, Brace & World Inc. Levi-Strauss, C. 2009. Antropologi Struktural Terj. Nini. Kreasi Wacana. Levi-Strauss, C. 2021. Ruang Lingkup Antropologi. Penerbit Basabasi. Luckhurst, M. 2005. Dramaturgy A Revolution in Theatre. Cambridge University Press. Pramayoza, D. 2013a. Dramaturgi Sandiwara Potret Teater Populer dalam Masyarakat Poskolonial. Penerbit Ombak. Pramayoza, D. 2013b. Pementasan Teater Sebagai Suatu Sistem Penandaan. Dewa Ruci Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 82, 230–247. Pramayoza, D., Simatupang, G. R. L. L., & Murgiyanto, S. 2018. Proses Dramaturgi Dari Teks Sastra Syair Lampung Karam Ke Teks Pertunjukan Teater Under the Volcano. Jurnal Kajian Seni, 42, 206–225. Putro, D. B. W., & Widowati. 2014. Pelestarian Warisan Budaya MasyaraKat Tionghoa-Jambi dan KonfliKnya dalam Novel Mempelai Naga Karya Meilina K. Tansri Pendekatan Struktural Levi Strauss. Caraka Jurnal Ilmiah Kebahasaan, Kesastraan Dan Pembelajarannya, 12, 75–82. Romanska, M. 2007. Dramaturgy Student Handbook. Emerson College Department of Performing Arts. Soedarsono, R. M. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Yanti Kh., N. 2009. Analisis Strukturalisme Levi-Strauss Terhadap Kisah Pedagang Dan Jin Dalam Dongeng Seribu Satu Malam. Adabiyyāt Jurnal Bahasa Dan Sastra, 82, 305–334. Zed, M. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia. ... Hampir semua analisis atas lakon dilakukan dengan melihatnya berdasarkan plot, karakter, dan tema. Sementara itu tinjauan atas genre lakon, kekhasan, konvensi, dan gaya lakon masih jarang dilakukan Pramayoza, 2021. Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis berdasarkan plot, karakter, tema, genre dan gaya lakon. ...Reza JuliantoJaeni JaeniMonita PrecilliaHusin HusinAlienasi adalah usaha untuk menggambarkan sebuah peristiwa ke dalam bentuk baru yang bertujuan untuk mencegah penonton menjadi katarsis. Alienasi merupakan salah satu teknik atau metode dalam mazhab teater yang diusung oleh Bertolt Brecht. Alienasi sendiri merupakan transisi dari menjadi ke tidak menjadi. Hal ini dilakukan oleh aktor-aktor yang memainkan naskah “setan dalam bahaya” dalam pertunjukan Tugas Akhir ISBI Bandung tahun 2022. Alienasi sangat terlihat oleh aktor yang memainkan peran sebagai Setan dan Alienasi sangat terlihat ketika tokoh dalam naskah “Setan Dalam Bahaya” interaksi dengan penonton dan antar tokoh itu berbeda. Efek keterasingan bekerja untuk menciptakan ruang kosong di antara penonton dengan tontonannya. Efek keterasingan tidak hanya ditunjukkan dalam keaktoran saja, tetapi keseluruhan pertunjukan, setting, ruang dan lighting menggambarkan keterasingan. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses alienasi antar tokoh dan interaksi antara tokoh dengan penonton itu terjadi. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode observasi dan wawancarara kepada aktor dan sutradara... Dalam seni teater, hal serupa ini sudah kerap terjadi, contohnya pada karya berjudul Under The Volcano karya Yusril Katil Pramayoza et al., 2018. Berbagai fenomena terjadinya transformasi teks bukan musik menjadi teks musik, tentunya membutuhkan peranti analisis tersendiri, sebagaimana dalam seni yang lain, misalnya ketika teks bukan drama beralih menjadi drama, diperlukan pendekatan dramaturgi Pramayoza, 2021b. ...Della Rosa Panggabean Fresti YulizaSherly NovalindaHafif HRThis article discusses the musical concept of an orchestral piece entitled Andung Hu, which in Batak language means my lament. Andung Hu’s work departs from the reinterpretation of the Andung tradition, a lamentation of sorrow in the context of the death committed by the Toba Batak people. Applying the method of transformation, with the concept of transit and transition, this paper is intended as a form of elaboration of the concept of Andung Hu’s work. The data collected from the work process by Della Rosa Pangabean, which was analyzed critically-reflectively, by viewing the work process as a form of artistic research. The results of the analysis show that the transformation process from the Andung tradition in the Toba Batak society to the Andung Hu Orchestra takes three key stages, namely interpretation; orchestration; and improvisation. The materials and tools used in the stages of the creation process are scales; atonal technique; motive; development techniques; and taganing motifs. The result of the work is a composition in the form of a program music entitled Andung lamentation; Toba Batak; musical concept; Andung Hu; orchestraAbstrakTulisan ini membicarakan tentang konsep musikal dari sebuah karya orkestra berjudul Andung Hu, yang dalam Bahasa Batak berarti ratapanku. Karya Andung Hu berangkat dari reinterpretasi atas tradisi Andung, sebuah ratapan kesedihan dalam konteks kematian yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Menerapkan metode transformasi atau alih wahana, dengan konsep transit dan transisi, tulisan ini dimaksudkan sebagai bentuk penjabaran konsep garapan dari karya Andung Hu. Data-data dihimpun dari proses berkarya oleh Della Rosa Pangabean, yang dianalisis secara kritis-reflektif, dengan memandang proses berkarya tersebut sebagai suatu bentuk penelitian artitik. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses transformasi dari tradisi Andung dalam masyarakat Batak Toba menjadi karya Orkestra Andung Hu, menempuh tiga tahapan kunci, yakni interpretasi; orkestrasi; dan improvisasi. Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam tahapan proses penciptaan itu adalah tangga nada; teknik atonal; motif; teknik pengembangan; dan motif taganing. Adapun hasil karya adalah sebuah komposisi dengan bentuk musik programa yang diberi judul Andung Kunci ratapan kematian; Batak Toba; konsep musikal; Andung Hu; orkestrasiDemylia Lady AmaraThe structural approach is an initial approach in a literary research. The purpose of this research is to describe the structural elements and describe the relationship between any elements in the drama script Roh by Wisran Hadi. The source of this research is the drama script Roh by Wisran Hadi written in June 1998 in Pagaruyung, West Sumatra. The script of this play has four acts with 29 pages. The drama script Roh is one of the best scripts by Wisran Hadi and won the 2nd place award in the 2003 DKJ competition. The drama script Roh by Wisran Hadi was published in the Sobrat drama script collection. Published by PT. Grasindo Jakarta 2003. The results of this study are in accordance with the initial objectives, the process of obtaining data is carried out through various stages, starting from the stage of recording data, classifying data and analyzing data. This research was conducted to prove that within the intrinsic elements of Wisran Hadi's dramae Roh, there is a concrete and significant relationship so that a literary work can be enjoyed in every verse of the written wordMary LuckhurstIn the first exhaustive history of the origins of dramaturgs and literary managers-people who act as advisers and play-doctors at today's theatres, Mary Luckhurst examines the major theorists and practitioners, arguing that Brecht, Granville Barker and Tynan have central roles in this history. Contentious figures, often accused of sinister intent, the numbers of dramaturgs have multiplied considerably in the last decades. This study inquires as to the political and cultural agendas behind this revolution, and whether dramaturgs are mentors or Struktural Levi-Strauss terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin BedilT AbdullahAbdullah, T. 2005. Analisis Struktural Levi-Strauss terhadap Tiga Lakon Karya Arthur S. Nalan Kajian Transformasi Tokoh dalam Lakon Rajah Air, Kawin Bedil, dan Sobrat.Wacana Sastra dan IdeologiK BudimanBudiman, K. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Pustaka Sejarah, Teori, dan PenerapannyaC DewojatiDewojati, C. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Gadjah Mada University Penelitian KebudayaanS EndraswaraEndraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Poetry To Performance; a Text Analysis of Nostalgia Sebuah Kota By Iswadi Pratama, a Review of Post-Dramatic DramaturgyPramayoza GusrizalD AfrizalH SaaduddinR SubohGusrizal, Pramayoza, D., Afrizal, H., Saaduddin, & Suboh, R. 2021. From Poetry To Performance; a Text Analysis of Nostalgia Sebuah Kota By Iswadi Pratama, a Review of Post-Dramatic Dramaturgy Dari Puisi Ke Pementasan;Invitation to The Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang TheatreG R KernodleKernodle, G. R. 1967. Invitation to The Postgraduate Program Institute of The Arts Padangpanjang Theatre. Harcourt, Brace & World Struktural Terj. NiniC Levi-StraussLevi-Strauss, C. 2009. Antropologi Struktural Terj. Nini. Kreasi Lingkup AntropologiC Levi-StraussLevi-Strauss, C. 2021. Ruang Lingkup Antropologi. Penerbit Basabasi.
Tema sebuah cerita adalah apa yang penulis coba sampaikan – dengan kata lain, ide sentral dari cerita tersebut. Cerita pendek seringkali hanya memiliki satu tema, sedangkan novel biasanya memiliki banyak tema. Tema sebuah cerita dijalin sepanjang jalan cerita, dan tindakan, interaksi, dan motivasi karakter semua mencerminkan tema cerita. Tapi jangan bingung tema dengan plot cerita atau moral. Alur ceritanya adalah apa yang terjadi dalam cerita dan urutan peristiwa cerita, dan moral adalah pelajaran bahwa penulis ingin tokoh utama dan dengan ekstensi, Anda untuk belajar dari cerita. Masing-masing menyajikan tema keseluruhan cerita. Yaitu, peristiwa dalam cerita menggambarkan tema, dan pelajaran yang Anda pelajari berhubungan langsung dengan tema tersebut. Jadi ketika Anda mencoba mengenali tema sebuah cerita, tanyakan pada diri sendiri apa yang penulis coba sampaikan melalui karakter dan peristiwa dalam cerita tersebut. Misalnya, dalam Catcher in the Rye, tindakan Holden Caulfield termotivasi oleh keinginannya untuk tidak tumbuh, jadi salah satu tema utama novel ini adalah pelestarian kepolosan. Memahami Tema Tema buku adalah ide utama yang mengalir melalui narasi dan menghubungkan komponen cerita bersama. Sebuah karya fiksi mungkin memiliki satu tema atau banyak, dan mereka tidak selalu mudah untuk langsung diketahui. Dalam banyak cerita, tema tersebut berkembang seiring waktu, dan baru setelah Anda membaca novel atau cerita pendek, Anda sepenuhnya memahami tema atau tema yang mendasarinya. Tema bisa luas atau bisa fokus pada gagasan tertentu. Misalnya, novel roman mungkin memiliki tema cinta yang jelas namun sangat umum, tetapi alur ceritanya juga dapat membahas masalah masyarakat atau keluarga. Banyak cerita memiliki tema utama dan beberapa tema kecil yang membantu mengembangkan tema utama. Tema itu apa? Pengertian tema adalah salah satu unsur seperti yang telah kami ulas yang sangat penting pada sebuah cerita karangan yang bersifat ilmiah sehingga akan mudah menemukan topik yang dapat di jadikan dasaran dalam sebuah tema. Dengan demikian tema juga dapat di artikan sebuah permasalahan dalam sebuah cerita yang di dasari dari gagasan sentral sehingga dapat disamakan pada gagasan topik ceritanya. Tema juga adalah pokok pembicaraan dari sesuatu yang akan diperjuangkan dengan melalui suatu karya yang bersifat tersirat dan tersusun dengan rapi sehingga untuk membacanya juga lebih mudah di pahami. Pengertian tema oleh para ahli Selain itu juga terdapat beberapa pengertian tema yang dikemukakan oleh para ahli yang cukup bagus untuk dilihat. Berikut pengertian tema menurut para ahli yang berhasil di himpul Menurut Keraf Telah menyatakan bahwa Tema adalah salah satu amanat yang utama sehingga dapat disampaikan oleh penulis melalui sebuah karya sastra. Menurut Sastra Indonesia telah menyatakan bahwa Tema adalah salah satu ide pokok yang memiliki gagasan dengan persoalan yang akan di gunakan sebagai landasan dalam membuat cerita. Menurut Stanton telah menyatakan bahwa Tema adalah salah satu makna yang terkandung pada sebuah cerita karya sastra. Menurut Mido telah menyatakan bahwa Tema adalah salah satu persoalan yang dapat menempati sebuah cerita dari pikiran pengarang saja. Menurut Aminuddin telah menyatakan bahwa Tema adalah salah satu ide yang telah dilandasi dan dapat diperankan sebagai aktivitas karya fiksi. Menurut Kamus Populer telah menyatakan bahwa Tema adalah salah satu dari pokok pemiikiran dari persoalan yang akan dijabarkan pada sebuah karangan. Perbedaan Antara Tema, Plot, dan Moral Tema sebuah buku tidak sama dengan plotnya atau pelajaran moralnya, tetapi elemen-elemen ini terkait dan perlu dalam membangun cerita yang lebih besar. Plot sebuah novel adalah tindakan yang terjadi dalam perjalanan narasi. Moral adalah pelajaran yang seharusnya dipelajari pembaca dari kesimpulan plot. Keduanya mencerminkan tema yang lebih besar dan bekerja untuk menyajikan apa tema itu bagi pembaca. Tema sebuah cerita biasanya tidak dinyatakan secara langsung. Seringkali disarankan oleh pelajaran terselubung atau rincian yang terkandung dalam plot. Dalam kisah pembibitan “Tiga Babi Kecil,” narasinya berputar di sekitar tiga babi dan mengejar serigala dari mereka. Serigala menghancurkan dua rumah pertama mereka, yang dibangun dengan jerami dan ranting. Tetapi rumah ketiga, yang dibangun dengan susah payah dari batu bata, melindungi babi dan serigala dikalahkan. Babi dan pembaca belajar bahwa hanya kerja keras dan persiapan yang akan membawa pada kesuksesan. Dengan demikian, Anda dapat mengatakan bahwa tema “Tiga Babi Kecil” adalah tentang membuat pilihan cerdas. Jika Anda kesulitan mengidentifikasi tema buku yang sedang Anda baca, ada trik sederhana yang dapat Anda gunakan. Ketika Anda selesai membaca, tanyakan pada diri Anda untuk meringkas buku dalam satu kata. Misalnya, Anda bisa mengatakan persiapan terbaik melambangkan “Tiga Babi Kecil.” Selanjutnya, gunakan kata itu sebagai dasar untuk pemikiran yang lengkap seperti, “Membuat pilihan cerdas membutuhkan perencanaan dan persiapan, yang dapat diartikan sebagai moral dari cerita.” Jenis jenis Tema Dari pernyataan di atas yang telah membahas arti pengertian tema, maka kami juga akan memberikan beberapa jenis yang terapat pada tema. Berikut Jenis tema yaitu 1. Tema Jasmaniah Tema Jasmaniah adalah salah satu bukan salah dua tema yang berkaitan dari sebuah permasalahan atau keadaan fisik seseorang sehingga jenis ini dapat menyangkut pada hal yang bersifat dan yang berhungan pada manusia. Contohnya “Tentang sebuah percintaan atau perasaan cinta”. 2. Tema Ketuhanan Tema Ketuhanan adalah salah satu bukan salah tiga tema yang berhubungan pada kekuasaan tuhan dari semua aktivitas yang di lakukan oleh manusia sehingga hal ini juga dapat di hubungkan pada makhluk ciptaan Tuhan. Contohnya “Keajaiban pada saat penyembuhan penyakit”. 3. Tema Sosial Tema Sosial adalah salah satu tema yang berurusan pada problematikan sosial dan dapat juga yang berkaitan dengan masalah pribadi yang di alami pada setiap manusia, sehingga akan berkaitan pada masalah kehidupan masyarakat. Contohnya “Masalah pendidikan, interaksi manusia”. 4. Tema Egois Tema Egois adalah salah satu tema yang terkait dengan karakter dan ego yang terdapat pada manusia sehingga dapat berkaitan tentang reaksi pribadi. Contohnya Ketamakan manusia dan kepasrahan manusia”. 5. Tema Organik Tema Organik adalah salah satu tama yang banyak terkait dengan moral dan dapat juga suatu hal yang berhubungan erat dengan moral pada dasaran manusia sehingga manusia dapat wujudnya hubungan antar manusia. Contohnya “Hubungan antar pria dan wanita”. Simbolisme dan Tema Seperti halnya bentuk seni apa pun, tema novel atau cerita pendek mungkin tidak jelas. Terkadang, penulis akan menggunakan karakter atau objek sebagai simbol atau motif yang mengisyaratkan tema atau tema yang lebih besar. Pertimbangkan novel “A Tree Grows in Brooklyn,” yang menceritakan kisah keluarga imigran yang tinggal di New York City pada awal abad ke-20. Pohon yang tumbuh melalui trotoar di depan apartemen mereka bukan hanya bagian dari latar belakang lingkungan. Pohon itu adalah fitur plot dan tema. Ini berkembang meskipun lingkungannya keras, sangat mirip dengan karakter utama Francine saat ia dewasa. Bahkan bertahun-tahun kemudian, ketika pohon itu ditebang, tunas hijau kecil tetap ada. Pohon itu berfungsi sebagai pendukung komunitas imigran Francine dan tema ketahanan dalam menghadapi kesulitan dan mengejar impian Amerika. Cara Memperkenalkan Tema Dari beberapa ulasan di atas maka kami juga akan menyampaikan cara memberkenalkan tema pada kehidupan sehari-hari di kalangan masyrakat diantaranya adalah. Dramatis – adalah suatu pengarangan yang di dasari dari watak atau karakter dari berbagai tokoh yang dapat diceritakan secara langsung kepada pendengar. Analitik – adalah sebuah pengarangan yang di buat secara langsung dan dapat juga menerangkan tentang watak atau karakter dari tokoh dalam pengarang nya. Langkah-langkah nya Pilihan sebuah nama dari karakter supaya dapat pembantu membenarkan sebuah karangan yang akan di gagas Lakukan representasi fisik atau postur tubuh Melalui dialog Nah demikian lah sobat yang dapat kami bahas mengenai ulasan tentang pengetian tema, semoga apa yang sudah kami bahas di atas dapat menambah wawasan kita semua dan semoga artikel ini juga bisa bermanfaat, sekian dan terima kasih.
tema cerita dalam naskah lakon teater dapat diketahui dengan cara